Rabu, 12 Desember 2007

Cerita tentang Guru, Murid, dan Jembatan

Mulyoto

Kemarin kamu bercerita:
Ada seorang murid mau menyeberang sungai via jembatan
Dengan sigap Sang Guru menolongnya hingga muridnya mencapai sisi tebing
Senyum guru mengembang, ketika muridnya berhasil menempuh perjalanan

Tapi guru itu, mungkinkah aku?
Bukan anakkku
Aku ini guru yang kadang lupa jembatan ini reot apa tidak
Aku bahkan kadang sulit menyunggingkan senyum
Ketika kamu melambai-lambaikan tanganmu dari sisi lain

Aku bukanlah Sang Guru dalam ceritamu
Aku hanyalah guru
yang terlalu sering banyak bicara
Aku hanyalah guru yang ingin banyak cerita
Aku guru, yang ingin bersama para muridnya mengarungi ilmu yang tak habis-habisnya.
Maaf aku tidak bisa memberikan apa-apa
Kecuali kilatan api yang menyulut semangatmu untuk tak menyerah pada kemalasan!
Itu aja!

Ketika Bangun Pagi

Puisi Mulyoto

Ketika bangun pagi
Aku ingin ada kekuatan, yang menopangku berjalan
Kekuatan yang melepaskan segenap beban

Aku ingin seperti sang angin, yang dengan ringan mengalir
Menyapa pucuk-pucuk cemara
menyambangi lembah dan bukit

Ketika bangun pagi,
Aku ingin bibir ini bisa tersenyum
Aku ingin kaki ini terbebas dari asam urat
yang menjerat
Aku ingin seperti matahari yang selalu bersinar di atas bumi
Seperti angin yang menyapa pucuk-pucuk jati
Seperti burung yang riang menukik-nukik di udara

Aku ingin ada kekuatan yang membuatku terasa ringan
di pagi hari
Aku tahu, kekuatan itu adalah kerinduanmu akan ilmu
Kekuatan itu adalah harapanmu akan kehadiranku!
Itulah kekuatan yang melenyapkan asam urat di kakiku
Kekuatan yang membuatku bisa tersenyum, saat aku bangun pagi
Wahai, murid-muridku!

Inspirasi Pedagogis dari Novel Laskar Pelangi: Buat Anak-Anaku di Pondok Pesantren Al-Multazam


Mulyoto

Novel "Laskar Pelangi" karya bestseller Andrea Hirata memang hanya fiksi. Meski, novel itu ditulis berdasarkan kisah nyata penulisnya waktu masih menjalani kehidupan sebagai murid sekolah miskin di sebuah pulau kecil, Belitug, namanya fiksi tetap fiksi. Artinya, tetap banyak kisah dan adegan yang hanya bersifat dramatisasi, dan hasil imajinasi.
Akan tetapi, terus terang, sebagai guru, saya sangat apresiatif terhadap novel tebal ini. Betapa tidak, laskar pelangi ternyata sarat dengan inspirasi pedagogis. Inspirasi yang terkait dengan dunia pendidikan. Saya seorang guru hampir 15 tahun ini, kadang merasa malu ketika membaca "Laskar Pelangi". Saya malu karena apa yang saya lakukan masih terlalu jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Pak Harfan dan Bu Muslimah, dua guru yang disebut dalam kisah ini.
Mereka adalah sosok-sosok guru yang berjuang tanpa pamrih dalam mendampingi anak didiknya mencari ilmu. Ikhlas, sepi ing pamrih, dan meletakkan kebahagiaan tidak pada besarnya imbalan, melainkan pada keberhasilan anak didiknya untuk tumbuh dengan kepribadian yang kuat dan tangguh.
Itulah sebabnya, novel "Laskar Pelangi" bagi saya adalah sebuah media untuk mengaca diri. Saya langsung melakukan kontemplasi, sebuah perenungan: bisakah saya berperan sebagai seorang guru yang berguna bagi anak-anak didik saya?
Beberapa inspirasi yang saya peroleh dari novel ini antara lain sebagai berikut. Pertama, jangan takut bercita-cita! Tidak ada cita-cita yang mustahil. Cita-cita akan membimbing kita untuk senantiasa menyusun langkah ke depan mewujudkan cita-cita itu. Keterbatasan dana, kemampuan intelektual, dan lain-lain, bukan alasan untuk mematikan cita-cita.
Ikal, nama Andrea dalam novel itu, digambarkan sebagai anak seorang pegawai rendahan. Tapi toh, kini dia telah berhasil menyeslesaikan kuliah S1 di Ekonomi UI, dan S2 di Inggris dan Perancis. Seperti sebuah mimpi tentunya. Tapi, itulah, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin! Banyak hal di dunia ini yang begitu ajaib. Tapi kuncinya, jangan pernah menyerah pada keterbatasan!
Kedua, jangan vonis masa depan anak didik kita. Lebih-lebih, jangan vonis masa depanmu, sendiri! Kita tak akan pernah tahu, suatu saat si Anak akan jadi apa. Bisa saja di sekolah otaknya kenthel (tidak encer), tapi dia pasti punya potensi lain. Kalau lemah di bidang matematika, mungkin dia kuat di bidang musik, sastra, atau spiritual. Sebaliknya, ada anak yang sangat lemah di bidang bahasa, namun dia kuat di bidang matematika. Ada lagi anak yang lemah di hampir semua bidang pelajaran, eh, ternyata dia berbakat dalam berdagang! Karena itu, jangan vonis masa depan anak didik kita! Berikanlah kesempatan mereka menemukan potensi mereka dengan menyulut semangat mereka untuk belajar hal-hal yang dia suka!
Ketiga, sebuah pesan yang begitu kuat dalam novel ini: jangan sia-siakan kesempatan. Kalau kebetulan kamu adalah anak yang terlahir dari keluarga mampu, ditambah berotak encer, jangan pernah malas! Kamu harus malu, kalau kondisi yang serba bagus itu tidak kamu manfaatkan. Kamu harus malu untuk menyia-nyiakan karunia Allah yang diberikan kepada kamu!
Keempat, sekaligus sebagai penutup, jangan sombong! Kesombongan bukanlah sinyal dari kepintaran, lebih-lebih kebijaksanaan. Kesombongan justru pertanda kekerdilan. Di Laskar Pelangi, terasa sekali akan hal ini. Sekolah PN Timah, sebuah sekolah di Belitung yang mewah dengan fasilitas yang serba wah, akhirnya takluk dan dipermalukan oleh Laskar Pelangi karena kesombongannya. Dalam suatu adu kecerdasan (semacam cerdas cermat), kesombongan mereka mengantarkan mereka pada keterpurukan, ketika mereka kalah mutlak melawan Lintang, salah satu anggota Laskar Pelangi yang jenius. Malah, guru muda congkak dari sekolah PN timah terpaksa harus menelan pil pahit karena kalah berdebat melawan Lintang. Malah, lebih jauh diceritakan, sekolah PN Timah beserta komunitas angkuh di dalamnya kini bangkrut! Jadi, Andrea Hirata juga mau bilang pada kita: jangan sombong!
Semoga kita bisa belajar banyak dari kisah yang penuh ironi sekaligus inspiratif ini!