Kamis, 10 Juli 2008

Sepasang Mata Kosong

Tiap ajaran baru, saya menjadi salah satu interviwer bagi calon siswa baru dan orang tuanya. Di sekolah kami, seleksi bagi calon siswa baru memang tidak hanya berdasarkan nilai ujian nasional (SKHU), melainkan juga dari tes tulis dan tes wawancara. Meski nilai ujian nasionalnya tinggi, kalau nilai tes tulis dan wawancara jeblog, calon siswa bisa gigit jari alias terdegradasi dari rangking yang lulus.

Meski bobotnya sedikit (10%), panitia sudah berusaha agar hasil tes wawancara bersifat objektif. Maka pertanyaan dan pedoman jawab serta penskorannya dibuat sedemikian rupa. Saya menggunakan instrumen itu untuk mengajukan pertanyan demi pertanyaan.

Karena sudah biasa, maka wawancara berjalan lancar-lancar saja. Hingga suatu saat, ada seorang bapak justru mengajukan pertanyaan kepada saya. "Pak, kalau anak saya diterima di sekolah ini, berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk keperluan daftar ulang dan sumbangan dana pengembangan sekolah?"

Saya pun menjawab dengan lancar. Tidak ada masalah. Uang seragam, uang awal tahun ajaran baru sekitar Rp 400.000,00. Lalu uang pengembangan sekolah minimal Rp1.800.000,00 dibayar separuh dulu.

Begitu lancarnya saya menjawab, sampai saya tidak begitu memperhtikan respon si Bapak. Saya baru tersadar akan adanya masalah ketika melihat si Bapak tiba-tiba bengong dengan pandangan kosong. Mata itu masih memandang saya, tapi terlihat pandangannya jauh, entah ke mana. Bibirnya bergetar.

Dan ketika kuajukan beberapa pertanyaan kepadanya, dia tidak menjawab apa-apa. Pikiranya lagi blank. Lalu dia bergumam, "Mahal sekali, ya?"

Saya terdiam. Pendidikan memang mahal, apalagi bagi orang-orang yang kurang beruntung seperti Bapak ini. Entahlah, saya menjadi kurang bersemangat melakukan wawancara.

Kekerasan Berbalut Pendidikan

Mulyoto

Para siswa senior, para guru pembina harus waspada. MOS membuka peluang munculnya kekerasan. Meski kadang kekerasan itu kadang dibalut dengan kata-kata manis: untuk mendidik, untuk membina, untuk mendisiplinkan ataupun untuk melatih mental.

Bukan maksud saya untuk menolak MOS. Saya hanya setuju bhawa MOS harus steril dari kegiatan yang bernuansa otoriter dan pemaksaan, baik secara fisik maupun mental.

Era sekarang itu era demokrasi. Era yang justru menghargai keterbukaan, keberanian berpendapat, dan keberanian mengembangkan kreativitas. Adik-adik Anda harus Anda didik untuk jadi anak yang berani, dan bukan penakut. Apalagi yang serba pasrah untuk melakukan perintah. Justru dialog harus dikembangkan.

Ini sering saya tehaskan dalam setiap kali MOS. Meski di lapangan sering kurang direspons, saya tidak lelah-lelahnya dan tidak akan bosan untuk tetap berteriak: hindari kekerasan.

Mungkin ada anggapan, saya terlalu demokratis. Atau terlalu lemah dalam melakukan proses penggemblengan. Ada celetuk, bahkan, "wah, nggak seru Pak!" Tapi, saya tetap yakin bahwa MOS bukan soal seru apa tidak. Tetapi soal, bisa enggak kita menampilkan model pembinaan yang humanistik, elegan, kreatif, dan bukan pembinaan yang berbau militeristik.

Sekedar mengingatkan, kekerasan dalam MOS sejatinya tidak lepas dari jerat hukum. apalagi yang berdampak pada jatuhnya kurban. Bisa terkena pasal penganiayaan, maupun kelalaian.

Semoga kita bisa menjalankan peran ini dengan baik.

MOS Bukan Ajang Balas Dendam

MOS (Masa Orientasi Siswa) bukan ajang balas dendam. Kegiatan awal tahun pembelajaran ini merupakan kegiatan yang ditujukan untuk memberi bekal kepada siswa baru agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

"Jadi, MOS bukan arena perploncoan, apalagi kekerasan bermotif balas dendam," tegas Mulyoto dalam rapat koordinasi panitia MOS di Aula SMKN 1 Pungging Kamis (10/7). Menurut Ketua MOS ini, paradigma yang kita gunakan adalah paradigma kasih sayang. Apa pun yang kita rancang, apa pun kegiatan yang kita gelar dalam MOS, semuanya harus bersifat mendidik, sebagai refleksi kasih sayang senior terhadap yunior.

Itulah sebabnya, dia mewanti-wanti agar para senior tidak over acting. "Setiap tindakan harus direncanakan, dikoordinasikan secara detil dan matang," tegasnya.

MOS SMK Negeri 1 Pungging memang agak berbeda dengan MOS sekolah lain. Dari sisi waktu, di sini lebih lama, selama 2 minggu penuh. Selama seminggu dipergunakan untuk kegiatan ceramah, diskusi, permainan, dan out bond. Seminggu berikutnya khusus untuk kegiatan PBB.

Penekanannya adalah pembentukan kedisiplinan dan penggemblengan fisik. "Sebagai sekolah teknik, SMK Negeri 1 Pungging memang berusaha mencetak siswa yang utuh. tidak saja cerdas, tapi juga kuat fisik dan mentalnya, dan terutama memiliki disiplin yang tinggi," kata Kapala Sekolah Drs. KH Syihabul Irfan Arief, M.Pd.